17 September 2025

Krisis Iklim Jadi Beban Rakyat, Pemerintah Harus Lakukan Perubahan Sistemik

Jakarta, 17 September — Pemerintah harus melakukan perubahan sistemik guna mewujudkan transisi energi yang adil dan pembiayaan iklim yang transparan. Pasalnya, struktur ekonomi nasional yang sangat bergantung pada sektor ekstraktif justru memperbesar dampak krisis iklim yang harus ditanggung masyarakat, alih-alih meningkatkan kesejahteraan.

Galau Muhammad, Peneliti fiskal CELIOS menegaskan bahwa hingga saat ini, struktur ekonomi Indonesia belum mencerminkan janji pemerintah untuk mencapai target net zero. Bahkan, proporsi paling besar dalam struktur ekonomi Indonesia justru berasal dari sektor ekstraktif, seperti energi fosil dan tambang lainnya, yang justru berdampak buruk.

Hal ini tercermin dalam kebijakan hilirisasi nikel yang terus-menerus didorong pemerintah. Kebijakan ini diklaim akan menciptakan keuntungan yang besar bagi perekonomian nasional, terutama dalam mendongkrak angka pertumbuhan ekonomi. Faktanya, hanya 20% keuntungan yang dihasilkan dari hilirisasi mineral yang masuk dalam penerimaan pajak. Tak hanya itu, hadirnya tambang dan smelter mineral justru membuat kemiskinan di daerah sekitar melonjak.

Kemudian, deforestasi semakin meluas demi ketahanan energi dan swasembada pangan. Padahal, ketahanan energi yang didorong oleh pemerintah –seperti co-firing biomassa dan biodiesel 40% (B40)– hanya menjadi solusi palsu transisi energi lantaran tetap melanjutkan pemanfaatan batu bara dan energi fosil lainnya, selain memperparah krisis iklim.

“Jangan sampai demi mengejar pertumbuhan ekonomi 8%, kita justru membabat hutan secara besar-besaran. Padahal, pemenuhan B40 akan mendorong kelangkaan minyak goreng, sementara sekitar 20 juta hektar lahan berpotensi disulap menjadi hutan tanaman energi biomassa, sawit B40, bioetanol, dan pangan yang dikuasai konglomerat besar,” ujar Galau.

Akibatnya, mengacu temuan CELIOS, terjadi ketimpangan ekonomi yang cukup besar. Saat ini 50 orang terkaya di Indonesia yang menguasai sektor ekstraktif, memiliki kekayaan hingga Rp 4,54 triliun. Hal inilah mendorong adanya tuntutan untuk memajaki kalangan kaya secara agresif sebagai cara untuk mengalokasikan dana bagi sektor berkelanjutan dan membiayai inisiatif lokal yang layak dipromosikan. “Kita seharusnya memiliki gambaran yang lebih besar untuk ekonomi berkelanjutan,” Galau menambahkan.

Di sisi lain, Khalisah Khalid, Manajer Keterlibatan dan Aksi Publik Greenpeace Indonesia mengungkapkan dampak dari krisis iklim seringkali justru menjadi beban yang sepenuhnya ditanggung masyarakat. Tak hanya itu, dampak krisis iklim telah mengusik rasa aman sebagai warga negara. 

“Ada juga kerugian yang dialami oleh rakyat, misalnya ketika kita sakit atau ketika kita mengungsi akibat adanya bencana. Itu semua ditanggung oleh rakyat, dan tidak ditanggung oleh negara. Kita memang belum mengenal adanya istilah pengungsi iklim. Di Indonesia meskipun bukan negara konflik, namun jumlah pengungsinya cukup tinggi karena adanya krisis iklim, misalnya ketika terjadi banjir. Ini yang mungkin luput, tapi angkanya cukup besar,” Khalisah menjelaskan.

Padahal, Khalisah menegaskan, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup, mendapatkan rasa aman, serta lingkungan hidup yang baik.

Berbagai kondisi tersebut mendorong koalisi masyarakat sipil untuk menginisiasi gerakan Draw The Line yang menuntut keadilan iklim melalui perubahan sistemik. Draw The Line menegaskan bahwa keadilan iklim bukan sekadar soal emisi, tetapi juga memastikan perlindungan bagi kelompok rentan, pembiayaan iklim yang transparan, dan transisi energi yang benar-benar berpihak pada rakyat.

Indonesia sebenarnya memiliki potensi besar untuk memimpin transisi energi bersih dan berkeadilan. Sayangnya, ketergantungan pada energi fosil dan kebijakan pemerintah memperparah ketimpangan, menutup ruang demokrasi, dan mengabaikan suara masyarakat adat serta kelompok marginal. Karenanya, Draw The Line juga menuntut agar pemerintah segera menghentikan pendanaan untuk energi kotor dan mengalihkan subsidi kepada energi terbarukan yang berkeadilan dan berbasis komunitas.

“Kebijakan iklim harus berlandaskan prinsip keadilan, dengan memastikan adanya keadilan distributif bagi kelompok rentan. Tanggung jawab perlu dibedakan sesuai kemampuan masing-masing pihak, sekaligus diarahkan untuk pemerataan kesejahteraan dan pengentasan kemiskinan,” Khalisah menegaskan.

Aksi Draw The Line akan dilaksanakan pada Jumat, 19 September 2025 pukul 13.00 WIB, dengan titik kumpul di Terowongan Kendal, Stasiun Sudirman, dan titik aksi di Istana Negara. Aksi ini mengangkat konsep “Dress Up, Show Up, Speak Up”, di mana kostum dan ekspresi kreatif menjadi simbol perlawanan dan tuntutan perubahan nyata.

“Saat ini kita muak melihat kebijakan pemerintah yang justru menyengsarakan masyarakat, polusi yang makin menyesakkan, dan pembungkaman terhadap teman-teman yang melawan. Kami ingin mengubah amarah tersebut menjadi perayaan keberanian, mari mengekspresikan kemarahan dalam keunikan kebebasan ekspresi masing-masing,” Ramadhan, Koordinasi Aksi ENTER Nusantara, menuturkan.

***

Kontak Media

Khalisah Khalid, Public Engagement and Actions Manager Greenpeace Indonesia
(+6281290400147/khalisah.khalid@greenpeace.org)

Galau D. Muhammad, Researcher Fiscal CELIOS
(+6281931225372/galau.muhammad@celios.co.id)

Ramadhan, Action Coordinator ENTER Nusantara
(+628883455857/ramadhan@enternusantara.org)